Antara Saya, Adichie dan Ijaewale
Setelah membaca surat Chimamanda Ngozi Adichie, sastrawan Nigeria
kepada Ijaewale, sahabatnya di buku “Dear Ijaewale or A feminist Manifesto in
Fifteen Suggestions”, rasanya ada kemiripan antara situasi mereka di
Nigeria, dengan saya di Indonesia. Kami sama-sama hidup dalam sistem budaya
patriarkal yang menindas perempuan. Sistem sosial yang memandang kedudukan laki-laki
lebih berharga ketimbang perempuan. Sehingga laki-laki sering dikenal
dengan mahkluk yang kuat, berani, bijak dan pintar dibandingkan perempuan.
Inilah akar ketimpangan gender di keluarga maupun maupun lingkungan.
Chimamanda Ngozi Adichie adalah anak ke-5 dari 6 bersaudara. Ia
gemar membaca buku. Ia menyelesaikan kuliah kedokterannya di Nssuka pada
1997, sebelum melanjutkan studi Komunikasi dan Ilmu Politik di Amerika Serikat.
Adichie membagi waktunya antara Nigeria dan Amerika Serikat, dia menerima gelar
Master dalam penulisan kreatif dari University Johns Hopkins dan mempelajari
sejarah Afrika di Yale University.
Salah satu karya Adichie yang menginspirasi ‘Dear
Ijaewale’ berisi 16 anjuran mendidik anak menjadi seorang feminis. Paling saya
ingat adalah langkah Ke-13 mengenai Percintaan. ‘Kau harus menjadi seorang Ibu
yang bisa diajak berbicara apapun. Ajari dia bahwa mencintai bukan hanya soal
memberi, tetapi juga menerima’, kata Adicie dalam bukunya. Menurut Adiche,
kebanyakan para ibu mengajari kepada gadis gadis bahwa komponen terbesar
kemampuan mereka untuk mencintai adalah kemampuan untuk mengorbankan diri
sendiri. Jika menjadi orang tua, dia menyarankan kita juga harus mengajarkan
hal yang sama kepada anak laki-laki.
Pada saat saya masih duduk di bangku SMA ada sebuah percakapan
yang masih saya ingat kayak Sepupu Perempuan. Ia bilang,” Jadi cewe itu jangan
pintar-pintar banget, serem tau, nanti cowo-cowo pada takut sama kamu dan susah
dapat jodoh karena cewenya kepintaran. Bahkan kaka pernah ketemu cewe pintar di
kampus pada saat itu, dia mengikuti tes TOEFL dan ya rada-rada strees gtu
jadinya, kamu jangan sampai gitu deh”.
Ungkapan sepupu saya di atas memperlihatkan tertanamnya konsep
partriaki dalam diri seorang perempuan sehingga menciptakan angapan jika
kekuatan mereka tidak boleh lebih unggul dari laki-laki. Padahal menurut saya
tidak masalah belajar untuk diri kita sendiri, bukan hanya sekedar untuk pintar
saja
Saya terinspirasi perjalanan pendidikan Adichie. Saya kini
mahasiswa Magister Ilmu Pemerintahan Universitas Padjadjaran Bandung,
Jawa Barat. Sejak kecil saya suka belajar dimanapun. Setelah lulus Sekolah
Menengah Pertama, saya merantau untuk menuntut ilmu yang baru. SMA saya
di Kalimantan Selatan sebelum berlanjut ke Kota Samarinda menyelesaikan
Pendidikan Sarjana, lantas memilih kota Bandung Jawa Barat untuk Pendidikan
Magister. Setelah lulus sarjana, saya berencana bekerja bukan untuk
melanjutkan Pendidikan. Kala itu saya takut jika melanjutkan pendidikan cowok
pada kabur, keasikan belajar, dan menjadi terlalu ambisius terhadap pendidikan.
Saya ragu melanjutkan ke jenjang Magister karena takut terlalu mengungguli dia
dalam Pendidikan. Saya selalu mendukung dia untuk bisa sekolah tinggi, tetapi
kami selalu sering mengalami perdebatan yang tak kunjung henti. Katanya, saya
gila gelar, ego banget
ANJURAN KE 13 (PERNIKAHAN) DALAM DEAR IJAEWALE
“ Kapan Menikah?”. Membentuk anggapan bahwa menikah lambat
itu buruk dan kita selalu dikejar-kejar dan berlomba-lomba untuk menempati
posisi itu. Alasanya kalau nikah usia muda, biar saat anaknya besar kita masih
kuat bekerja untuk mereka dan selisihnya juga tidak jauh-jauh banget. Umur sama
pendidikan. Padahal maksud saya bukan seperti itu. Saya mau dia jadi laki-laki
sukses dalam pendidikan maupun karier. Akhirnya kami memutuskan hidup
masing-masing.
Tak hanya urusan cowok. Ketika mendekati kelulusan kuliah,
seringkali terlontar dari keluarga maupun lingkungan sekitar yang sering
memberikan pertanyaan menyudutkan. Misalnya 24 dan 25 tahun dianggap batas untuk
menikah dan punya anak.
Saya jadi ingat anjuran Ke-7 Adichie kepada Ijaewale,
sahabatnya adalah, “Jangan mengatakan padanya bahwa pernikahan adalah
pencapaian. Pernikahan itu bisa Bahagia bisa juga tidak, tetapi bukan berarti
prestasi. Saya setuju ini.
Di lingkungan rumah saya, pernikahan dianggap sebagai prestasi. Fenomena generasi ‘Bucin” atau bucin, yang terlalu Baper dengan konten “UWU” menikah muda mendokrin mereka untuk cepat-cepat duduk di pelaminan tapi secara mental belum siap mengalami kehidupan yang sebenarnya, after marriage.
Munculnya fenomenal istilah-istilah baru yang baru saja muncul
kerap digunakan oleh generasi muda di Indonesia adalah bucin, yaitu singkatan
dari Budak Cinta. Istilah tersebut ditunjukkan kepada seseorang yang diperbudak
oleh “Cinta”, karena ia yang tidak bisa mengontrol diri untuk lepas dari
cintanya. Seolah, setiap Langkah yang ditempuh tidak terlepas dari problematika
percintaan. Di kalangan muda di Indonesia, fenomenan bucin telah merajarela,
terutama dari kalangan SMP, SMA, dan Mahasiswa. Jika hal tersebut di katakana
Bucin, karena seseorang yang romantis dengan berfikir dengan nalar. Bahwa
adanya sebuah keinginan untuk membahagiakan pasangan dan tidak menjadi jati
dirinya sendiri.
Pengaruh sosial media, tidak terlepas dari keseharian kita. Dan
orang-orang yang tidak selalu melakukan chat yang tidak jauh dari perasaan
cinta. Tidak hanya media sosial, film dan drama percintaan juga memainkan
peranan penting dalam percintaan di kalangan generasi muda di Indonesia di
zaman sekarang ini, bahkan gaya berpacaran muda-mudi di Indonesia banyak
dipengaruhi oleh industri skala besar, yaitu media sosial, film dan drama. Dan
menyebabkan generasi muda terpengaruh fenomena tersebut lewat fenomena
“Bucin”. Mereka sampai memilih menikah muda untuk menghindari dosa.
Saya dan anak-anak perempuan lainnya juga mendapatkan doktrin
bahwa menikah merupakan sebuah pencapaian prestasi, yang diimpikan setiap gadis
di dunia. Kita diajak bermimpi menjadi puteri di Negeri dongeng dan berakhir happy
ending bersama Pangeran berkuda putih. Lupa jika happy ending dan
sad ending merupakan dua komposisi yang saling terhubung satu
sama lain.
Jika Adichie mengajak Ijaewale bercakap, Saya mengajak Yuni
Safitri, teman saya dulu di Sekolah Menengah Atas. walau jarang bertemu, kami
sering berkomunikasi dan berdiskusi. Ia sarjana Pertanian Universitas
Mulawarman dan sekarang mengajar anak-anak baca dan tulis. Saya menanyakan
pendapatnya tentang sistem patriarki dalam keluarga dan lingkungan.
”Kalau saya secara pribadi, orang tua saya tidak mengutamakan
laki-laki di keluarga tetapi saya sering punya temen yang punya pola asuh
seperti itu. Saya punya temen yang dibesarkan dalam keluarga patriarki,
sekarang hidupnya susah banget, tidak bisa daftar CPNS dan berkembang.
Intinya perempuan tidak boleh diatas laki-laki“. CPNS singkatan Calon Pegawai
Negeri Swasta.
ANJURAN KE 2 (PERAN GENDER) DALAM DEAR IJAWALE
Sistem patriarki juga masih melekat dalam keseharian keluarga. Contohnya
saja dalam pekerjaan mencari nafkah, laki-laki wajib menjadi tulang punggung
keluarga. Kemudian istri dituntut untuk patuh terhadap keluarganya dan fokus
untuk mengurus anak dan suaminya. Hal yang saya alami dalam keluarga. Ayah saya
secara tidak sadar mendominasi dalam keluarga. Mama saya masih
duduk di bangku kuliah dan menuju semester akhir, saat dia bertemu ayah yang
kemudian menjanjikan “Pernikahan” kepada Mama dengan syarat dia
berhenti kuliah dan menjadi Ibu Rumah Tangga. Kala itu, Mama
mengambil studi Manajemen dengan harapan bisa kerja kantoran, yang tentu saja
mewajibkan dia berada di luar rumah. Ayah saya kuatir Mama tak punya banyak
waktu buat keluarga. Mama menyetujui syarat tersebut dan mereka
menikah. Mama menjadi Ibu Rumah Tangga penuh. Untunglah Mama orang yang
aktif dalam berkegiatan sosial seperti arisan dan pengajian, sehingga masih
leluasa keluar rumah. Malah saya yang sering di suruh jaga rumah ketika
Mama saya jalan untuk bertemu dengan teman-temannya.
Ayah saya juga dari dulu selalu memberikan opsi ke saya, dan
mengatakan bahwa perempuan jangan kerja di perusahaan karena bisa menyita waktu
untuk keluarga. Jika sudah menjadi seorang Ibu dan mau tidak mau harus
mengalah dan berhenti dari pekerjaan. Itulah sebabnya dia
mendorong saya mengambil Jurusan Pemerintahan agar nanti kedepannya bisa
bekerja dan membagi waktu untuk keluarga seperti menjadi Pegawai ataupun
pengajar.
Bukan hanya Mama yang mengalami subordinasi, atau menjadi orang
kedua dalam mengambil keputusan. Kakak sepupu saya juga demikian, pernah dia
mengalami dilema antara pernikahan dan pekerjaan. Akhirnya dia memilih
menikah dan meninggalkan pekerjaannya.
Alternatif yang bisa di lakukan ketika istri ketika tidak bekerja
di luar rumah mereka memutuskan untuk membuka toko online ataupun offline untuk
membantu suami mereka ataupun penuh sebagai Ibu Rumah Tangga, sehingga
sangat bergantung pada suaminya. Perempuan rela berkorban serta
kehilangan jati diri mereka sendiri, seperti yang diceritakan Adichie dengan
pengalaman pribadi di atas menunjukkan kebanyakan perempuan yang sudah menjadi
istri menjadi terbatas dalam melakukan apapun. Artinya, ketidakseimbangan
itu sudah tercipta sejak awal hubungan laki-laki dan perempuan. Memang
perempuan mempunyai alternatif lain setelah mereka menikah.
Sehingga membuat perempuan terisolasi dan tidak bisa
mengekspresikan pikiran dan pendapat dia secara leluasa. Adanya sekat
penghalang karena Patriarki yang memang masih dipegang teguh oleh
masyarakat Indonesia.
Sayangnya, Adichie membatasi diri membahas hubungan Gender,
sebatas laki-laki dan perempuan. Tak ada percakapan tentang alam disitu.
Menurut saya, sebagai bagian dari semesta, percakapan tentang perjuangan
hak-hak perempuan juga harus membicarakan bagaimana hubungannya dengan alam,
atau belakangan dikenal sebagai cara pandang ekofeminis.
Sebagai pembaca karya Adicihe, saya pun
terlarut dalam cerita Dear Ijaewale yang saya rasakan sama dengan pengalaman
saya tetapi dari hal tersebut saya ingin menambahkan bahwa bukan hanya relasi
perempuan dan laki-laki saja yang dibutuhkan ekofeminisme juga di dalamnya.
Saya yang dulunya tidak terlalu peka terhadap lingkungan terutama antara
hubungan manusia dengan lingkungannya sekarang menyadari bahwa hal tersebut
penting dan hadir dalam kehidupan kita. Konsep ekofeminisme sendiri saya
dapatkan dari kelas yang saya ikuti sekarang yaitu Sekolah Literasi Ekofeminis.
Ada sebuah sebuah cerita yang selama tanpa saya sadari hadir di dekat dengan
wilayah tempat saya tinggal yaitu dampak lingkungan berupa pencemaran air yang menyebabkan sungai yang
berada di dekat tempat saya tidak jernih oleh perbuatan manusia itu sendiri.
Situasi itu terjadi di Desa Batu Butok,
Kecamatan Muara Komam, Kabupaten Paser, Kalimantan Timur.
DESA PENAMBANG EMAS
Pertama bercerita tentang seorang nenek Tua
yang berada di bawah matahari, yang sibuk menusukkan sekop ke tanah berair di
area penambangan emas tradisional Batu Batu Butok, Kalimantan Timur. Umurnya,
65 tahun. Dia mencangkul tanah dan menaruhnya ke pendulangan hingga penuh.
Setelah penuh, mulailah dia mengayak pendulangan untuk mendapatkan butir-butir
emas. Kegiatan Itu dilakukannya berulang kali.
Sudah sepuluh tahun lebih saya melakukan ini,”
katanya. Dia biasa bekerja dalam kubangan air berlumpur dari pagi hingga siang,
kadang sampai sore hari. Tapi, uang yang dia peroleh tak menentu, bahkan
cenderung merosot.
“Emas makin ngalih kami dapatkan. Amun kawa
kami dibari pang bibit tanaman gasan behuma (Emas semakin sulit untuk kami
dapatkan. Kalau bisa, kami diberi tanaman buat bertani)”, katanya dalam bahasa
Banjar ini merupakan bahasa yang berasal dari Kalimantan Selatan. Ibu tua ini
mengaku punya sedikit tanah yang bisa digarap. Namun, harapannya tak terpenuhi
hingga dia meninggal. Perempuan tua itu meninggal karena kecelakaan saat
menyeberang jalan raya di depan rumahnya. Cucunya, berumur 13 tahun, mewarisi
harapan itu. Sang cucu mengikuti program pendampingan yang dilakukan Yayasan
Padi Indonesia untuk membantu masyarakat setempat mencari mata pencaharian
alternatif yang ramah lingkungan untuk mendapatkan item emas. Aktivitas
dilakukan berulang kali Penambangan emas yang berdampak menimbulkan emas
tersebut terus berkurang, beberapa tempat bahkan telah bahkan telah habis sama
sekali emasnya, akan tetapi masyarakat terpinggirikan dan malahan tetap menjadi
miskin.
Cerita kedua mengenai sejarah kehidupan (life
history) dari seorang perempuan wilayah pedalaman Kalimantan. Kisah hidupnya
yang memberikan pelajaran pengalaman dan informasi secara pribadi kepada kepada
seorang penulis seperti saya bahwa ada
sesosok perempuan yang bernama “Mama Sugeng” yang memperlihatkan kepada saya
secara gamblang bahwa bagaimana terpinggirkannya masyarakat pedesaan oleh
program-program pemerintah seperti transmisgrasi, penambangan skala besar, dan
penebangan hutan secara komersial. Yang ahkirnya ujung-ujung Kembali kepada
situasi yang ironis, dan masyarakat tetap miskin atau malah bertambah miskin di
tanah kelahirnnya sendiri. Pada awalnya, dari hasil penjualan emas mampu
memperbaiki ekonomi masyarakat sekitar, dapat memenuhi kebutuhan masyarakat
berupa sandang dan pangan dengan cukup. Meskipun, harga yang murah dan
terjangkau, tetapi tidak bisa mengubah kesejateraan masyarakat yang berada di
lingkaran pendulang emas.
Dari 2 cerita wanita tersebut bahwa secara
ekologis, pertambangan emas ini telah merusak lingkungan. Sehingga para
penambang membabat dan membuka hutan, dan meninggalkan bekas-bekas lubang
penambangan. Kegiatan ini tentu saja mencemari air sungai. Penduduk tidak tau
cara memperbaiki lahan bekas pertambangan yang rusak. Serta mengakibatkan
daerah garapannya petani mengalami penyusutan di karena pemilik tanah yang
terbiasa tergoda dengan untung dan hasil yang besar dari membuka pertambangan
emas di wilayah mereka.
MEMIKIRKAN ALTERNATIF
Adapun alternatif yang di berikan, ketika
menambang emas tradisional bukan lagi primadona bagi penghasilan warga desa setempat.
Beberapa warga mulai melirik cara lain untuk menghidupi keluarganya. Dengan
cara membentuk suatu kelompok Tani yang cukup besar dan beranggotakan laki-laki
dan perempuan. Dan mulai merencanakan membuka ladang hutan adat. Pada haru yang
di sepakati bersama untuk beralih dari
tambang emas ke pertanian.
Kemudian pada Desember tahun 2004, Yayasan PADI
Indonesia yang berkantor di Balikpapan Kalimantan Timur melakukan pendampingan
masyarakat di lapangan dengan memberikan bantuan kepada masyarakat Batu Butok
melalui proses belajar perubahan yang lebih baik. Kegiatan-kegiatan bersama
masyarakat, terutama yang berkaitan dengan kerusakn lingkungan yang di
akibatkan oleh penambangan emas tradisional. Sehingga menciptkan sumeber
pendapatan baru dan ramah lingkungan. Yayasan
PADI menyelenggarakan sejumlah program yaitu pelatihan kelompok swadaya
mayarakat dan wanatani dengan budidaya karet. Para pelatih berasal dari
berbagai kalangan, berasal dari perwakilan pemerintah Dinas Kehutanan, Dinas
Pertambangan , dan Dinas Pertanian Kabupaten Paser. Selain pelatihan, Yayasan
PADI mencoba memberikan bantuan berupa bibit-bibit tanaman dan perikanan yang
tujunannaya mendorong dan mendukung penduduk desa untuk Bertani tidak lagi
menambang emas. Selain menjadi pendamping masyarakat untuk bisa keluar dari
aktivitas pertambangan emas, Lembaga tersebut juga memonitor setiap pergerakkan
masyarakat dan memfasilitasi pertemuan-pertemuan kampung setiap bulannya.
KESIMPULAN
Setelah membaca membaca buku “Dear Ijeawale” ini adalah kita harus
kritis dan adil jender. Ini yang pertama. Melakukan sesuatu karena kita sadar
dan ingin melakukan buat kebahagian diri, tentu tidak terjebak pada egoisme
diri. Kedua, pernikahan bukanlah sebuah pencapaian, karena dalam
pernikahan bisa gagal ataupun bisa bahagia. Ketiga, ajari bahwa mencintai
bukan hanya memberi tetapi sama-sama bisa saling menerima. Penting
mengajarkan nilai-nilai sosial yang sama kepada anak perempuan dan laki-laki.
Termasuk mengajari laki-laki untuk mencintai dan saling menghargai kaum
wanita. Sayangnya,
Adichie membatasi diri membahas hubungan jender, sebatas laki-laki dan
perempuan. Tak ada percakapan tentang alam disitu. Menurut saya, sebagai bagian
dari semesta, percakapan tentang perjuangan hak-hak perempuan juga harus
membicarakan bagaimana hubungannya dengan alam, atau belakangan dikenal sebagai
cara pandang ekofeminis. Dan saya ingin menambahkan fenomena ekofeminis yang
terjadi di Desa Batu Butok menjadi menjadi sebuah pelajaran untuk saya sendiri
dan di lingkungan bahwa pengelolaan sumber daya alam yang buruk dan tidak ramah
lingkungan terbukti tidak akan bertahan lama, serta tidak dapat menjamin
menjadi masa depan yang lebih baik. Di samping itu, menciptakan kerugian
lingkungan dan masyarakat tidak dapat memiliki penghasilan yang cukup. Dan
harusnya masyarakat memikirkan masa depan depan mereka dengan mencari sumber
pendapatan yang baru. Dan untungnya adanya respek yang di berikan peran
pendampingan Lembaga Swadaya Masyarakat dan Pemerintah untuk membantu
masyarakat memecahkan permasalahnya dengan memberikan bantuan program pemberdayaan masyarakar.
Daftar Pustaka
Chimamanda Ngozi Adichie.2016. Dear
Ijeawele, Or A Feminist Manifesto in FITEEN SUGGESTIONS, Great Britain by
4th Estate 2017.
Yayan Indriatmoko, E. Linda Yuliani,
Yunety Tarigan, Farid Gaban, Firkan Maulana, Dani Wahyu Munggoro, Dicky
Lopulalan, Hasantoha Adnan. 2007. Dari Desa ke Desa Dinamika Gender dan
Pengelolaan Kekayaan Alam. Jakarta : Center for International Forestry
Research (CIFOR)